(Oleh : Fahmi Muhamad Rizal)
Cerita ini sebagian besar menceritakan
tentang pengalaman pribadi saya ketika saat saya menuntut Ilmu di Pondok
Pesantren, yang di temani oleh sebuah buku catatan pribadi yang selalu setia
menemani saya.
Saat itu saya sedang duduk di kelas VI
Sekolah Dasar.
Pukul 12:00.
Bel
berbunyi, KBM selesai, semua Siswa berhamburan keluar kelas dan pulang menuju
rumahnya masing-masing dengan tertib.
Sesampainya di rumah, terlihat sesosok
kedua orang tua menyambut saya dengan senyuman, tidak lupa saya mengucapkan
salam kepada mereka. “kamu sudah makan nak?” Tanya Ayah, “belum..” jawab saya
dengan suara pelan, karena lelah baru pulang sekolah, “hayu kita makan bareng”
ajak Ayah. Langsung saya bergegas menuju dapur bersama Ibu untuk menyiapkan
makan siang bersama.
Setelah selesai makan siang. Kami
sekeluarga berkumpul, mendengar nesehat dari Ayah. Hal ini biasa keluarga saya
lakukan setelah makan bersama.
Ayah
adalah sesosok pribadi yang menginspirasi saya tentang kemandirian. Cerita masa
kecilnya selalu di ceritakan. Salah satu ceritanya yang selalu saya ingat
sampai sekarang adalah beliau pernah penuntut Ilmu di Pondok Pesantren, dan hal
itu yang ingin saya ikuti. Seketika muncul niat, setelah lulus dari Sekolah
Dasar ini, saya ingin melanjutkan ke Pesantren.
Beiring jalannya waktu. Ujian Nasional
pun telah berlalu, dan saya mendapatkan nilai yang cukup memuaskan.
“ingin melanjutkan sekolah dimana
kamu?” Tanya Ayah, “masuk Pesantren!” jawab saya semangat.
Dengan semangat saya mencari informasi
tentang Pondok Pesantren Modern. Akhirnya saya memilih Pondok Pesantren di
daerah Banten.
Keesokan harinya setelah selesai
mencari informasi, saya bersiap untuk mengikuti test, testnya terdiri dari test
membaca Al-Qur’an serta tajwid, menulis bahasa Arab, serta hapalan surat-surat
pendek jus 30 dan hapalan doa sehari-hari. Dan hasilnya, saya lulus!.
Hari pertama di Pondok.
Pada saat itu, entah apa yang saya
rasakan. Rasa senang dan sedih bercampur jadi satu. Tiba-tiba muncul perasaan
canggung karena harus pisah dengan keluarga. Tapi semua ini harus saya jalani,
karena ini niat awal saya ketika masih duduk di Sekolah Dasar.
Malam pertama di Pondok terasa
berbeda, saya hanya bisa diam di dalam Asrama dan tidak tahu harus berbuat apa.
Rasanya sedih, dan ingin nangis. Seketika ada yang merangkul saya, “kamu kenapa
de?” Tanya orang itu. Ternyata dia adalah salah satu kakak kelas pengurus
Asrama. “ga kenapa-kenapa ka..” jawab saya dengan suara sangat pelan. “hayu
kita sholah Isya’ ke Masjid..” ajak kakak itu.
Setelah melaksanakan sholah Isya’,
santri baru sudah harus masuk Asrama untuk perkenalan, di lanjutkan tidur
malam.
Malam itu rasanya tidak bisa tidur,
selalu teringat dengan keluarga di rumah. Seketika saya mengambil sebuah buku
untuk menulis perasaan apa yang saya rasakan saat itu.
Hari demi hari berjalan, saya pun
mulai beradaptasi dengan lingkungan Pesantren. Ternyata dunia Pesantren tidak
seindah apa yang selama ini saya bayangkan. Banyaknya peraturan membuat saya
merasa terkekang. Dan setiap kegelisahan saya pasti menuliskannya di sebuah
buku khusus untuk mencurahkan perasaan apa yang saya rasakan. Isi tulisannya
pun tidak hanya berbentuk cerita, namun ada juga berbentuk Puisi dan
kalimat-kalimat yang memotivasikan untuk diri saya sendiri.
Banyaknya hapalan di Pondok yang
membuat saya tidak betah. Sehari hari tidak pernah lepas dari hapalan.
Ada salah satu kegiatan yang saya
tidak suka di Pondok, yaitu Muhadoroh (latihan pidato) tiga bahasa, yaitu
bahasa Indonesia, Arab, dan Inggris.
Latihan pidato Bahasa Indonesia
jadwalnya pada malam senin, dan Bahasa Arab/Inggris pada malam jum’at. Tetapi
ketidak senangan akan Muhadoroh itu membuahkan hasil yang sangat luar biasa.
Itu semua melatih mental saya dalam berbicara di depan orang banyak.
Dan ada lagi hal yang saya tidak suka.
Yaitu makan. Lauk makan Pagi, Siang, dan Sore pasti tidak pernah lepas dari
kerupuk, tahu/tempek, dan sambal. Makan daging ayam hanya seminggu satu kali,
yaitu pada hari Senin sore.
Hal menyenangkan di Pondok adalah
kekeluargannya. Bagaimana tidak, sehari-hari kita berada dalam satu lingkungan.
Segala aktivitas kami lalui bersama.
Senang dan duka semua ada di Pondok.
Dan kenangan itu tidak lupa saya tuliskan di buku catatan pribadi. Buku itu
saya anggap sebagai sahabat saya yang selalu setia menemani saya ketika merasa
jenuh, dan bosan.
Tiga tahun telah berlalu, sebentar
lagi akan beranjak dari Putih-biru ke Putih-abu abu.
Saat itu kebetulan keluarga sedang
menjenguk saya, sekalian membahas lanjutan sekolah saya. “gimana rencana
sekolah kamu, mau lanjut SMA di Pondok atau pindah sekolah di luar?” Tanya Ayah
kepada saya. Menurut saya ini pertanyaan yang membingungkan, sebenernya butuh
waktu. Tapi saya harus mengambil keputusan saat itu juga. Dan saya memutuskan
untuk melanjutkan sekolah di Pondok.
Tapi
keputusan itu terhenti. Ibu melarang saya untuk melanjutkan sekolah di Pondok,
alasannya karena “kejauhan”. Ibu mengizinkan saya Sekolah di Pondok tapi harus
pindah di daerah Serang tempat saya tinggal. “Agar lebih dekat” usul nya.
Seketika muncul dalam benak. “Jika
pindah Pesantren, sama saja bohong, saya sudah betah disini”.
Teringat sebuah hadist yang selama ini
saya pelajari “Ridho Allah terdapat pada ridhonya orang tua, dan murkanya Allah
terdapat pada murkanya orang tua”.
Saya berfikir, walau pun sekolah di Pondok Pesantren baik, tapi jika
orang tua tidak mengizinkan, akan sia-sia jadinya.
Akhirnya
saya memutuskan untuk melanjutkan Sekolah di luar Pesantren.
Saya melanjutkan Sekolah tingkat SMA
di daerah Serang tempat saya tinggal.
Banyak cara bagi kita untuk menuntut
Ilmu. Tidak hanya sekolah di Pesantren, Sekolah di luar Pesantren pun asal ada
niat, usaha, dan tidak lupa berdoa cita-cita Insya Allah akan terpenuhi.
Buku
peribadi yang selama ini menemani saya di Pondok Pesantren menjadi saksi akan
suka dan duka yang selama ini saya alami.
Sekolah
di luar saat ini sudah tidak lagi saya menulis di buku itu. Tapi semua cerita
di dalamnya sesekali masih saya baca, jika saya merasa bosan dan jenuh akan
keadaan. Buku itu juga yang membuat saya sekarang menjadi hobi menulis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar